Wednesday, January 21, 2009

Ketika sang langit memerah

Kususun sepuluh jemari. Kuhitung telah berapa lama aku dijadikan bahan diskusi. Seperti orang orang yg sibuk mendiskusikan perbuatan Israel terhadap GAZA. Sehari dua hari, seminggu, hingga hitungan bulan, penindasan masih terasa. Selama itu aku menangis meringis getir ditempat tersembunyi. Jauh, ditempat yang tak tersentuh oleh pandangan mata. Mencari dimana kekuatan hidup ini berada. Mencoba tetap diam. Sketsa alamku rupanya tak lagi difahami oleh mereka. Lukisan lukisan awan dibiarkan dalam keangkuhanya. Membiarkan rongga bumi semakin gelap dalam pandangnya.

Ketika langit memerah. Gemuruh gejolak jiwaku gemetar tiada arah. Mulut mulut nyinyir semakin tajir dalam mereka-reka. Berpraduga menutupi keegoannya. Merasa diri benar bertingkah tanpa mau berkaca. Mencela, menghakimi, yang sejatinya untuk menutupi kesalahan diri sendiri. Ataukah manusia seperti ini memang iblis yang bersarang dirumah sang penyamun?
Ketika langit memerah. Selembar kertas terjatuh didepan mata. Kuraih..lalu ku baca……
“Tahukah kamu, setelah dirimu dihina sekarang aku jadi korban berikutnya. Setelah kamu difitnah kini giliranku jadi bahan fitnah mereka. Setelah dirimu disakiti gentian aku yang tersakiti. Dengan diammu, mereka berhenti sendiri. Tapi aku,aku tak kan pernah bisa seperti kamu yang meng- arca. Membiarkan segala aniaya yang kau terima dengan ganasnya. Aku tak bisa! Karena jiwaku tak setegar kamu. Nyanyianku tak semerdu dendangmu. Fikirku tak setajam fikirmu.”
*Terduduk lesu aku di meja kerja itu, sebelum melanjutkan membaca dan melepaskan sesak dada.*
" Perempuan tegar yang kukagumi. Maafkan segala salahku. Aku yang menghinamu karena percaya mulut gatel itu. Aku yang pernah menyakiti hatimu karena termakan gombal usang itu. Dan aku yang pernah mencibirmu karena termakan penghasut itu. Maafkan. Aku yang begitu percaya kata kata mereka tanpa melihat fakta sebenarnya. Kamu,perempuan tegar yang kukagumi. Sikapmu membuatku semakin bersalah. Baru kusadari perempuan tegar, kamu tak sama seperti yang dikatakan mereka. Kamu bukanlah gadis liar yang berkeliaran di Hong Kong cari kelamin lelaki, apalagi berbicara porno. Bukan kamu yang tergila gila pada lelaki itu. Bukan kamu yang mengejar keluarganya demi mendapatkan pria sakit sakitan itu. Tetapi sebaliknya bukan?? Dan beginilah nasib yang kualami saat ini perempuan ayu….difitnah, ditendang hingga jatuh tersungkur. Sudah merasa sebegitu berharganyakah dia?yang tak juga mau menyadari kenapa dia dikucilkan dari lingkungan. Parahnya lagi wahai perempuan....dibalik lelaki itu ada jiwa kerdil penghasut berbadan manusia berhati binatang. Demi kebaikanmu, putuskan komunikasimu dengan mereka yang bersikap manis didepanmu, tapi sejatinya ingin menusukmu dengan pisau tajam dari belakang. Sekali ini jangan abaikan pesanku, meski kutahu engkau membenciku.

Ketika langit memerah
Sebagian orang sibuk menahan amarah. Sebagian lagi semakin gencar memfitnah. Dimana gerangan sebuah keadilan yang konon ada bagi orang orang teraniaya. Apakah itu hanya omong kosong. Apakah itu hanya nyaring dentang gereja dikala senja? Nurani. Kita hidup ditakdirkan memiliki nurani. Manusia boleh melakukan penyangkalan terhadap yang lainya. Tapi tak kan bisa melakukan penyangkalan di hadapanNYA. Lalu kenapa harus ada saling berebut lahan kebenaran?.

Ketika langit memerah
Kutahan hasrat marah yang semakin merekah. Kulepaskan kabel kabel yang melolosi harga diriku jadi debu. Kuhentikan langkah ditepi jalan itu. Sejenak ku pandang,dan langit itu masih tetap memerah. Kutundukkan wajah menenangkan jiwa. Mungkin, dengan jalan inilah Tuhan menunjukkan kepadaku tentang kebenaran itu. Semestinya aku berterima kasih pada orang yang dianggap sebagai pengkhianat itu. Tanpanya tentu aku tak tahu jika telah di”telanjangi” hingga orgasme oleh orang orang yang sangat kuhormati. Semestinya memang begitu. Tetapi aku malah berharap, aku tak mendengar apapun juga, agar langit tetap indah dipandang mata. Maaf bagiku sudah terlambat dan aku sudah tak ingin mendengarnya lagi. Harapanku, usah usik diamku, memaksaku berbicara sesuatu yang sungguh tak ingin aku melakukannya. Dan lihat, hitung, ukur, sudah berapa lama kusimpan cerita perih ini. Tapi diamku tak juga difahami.

KETIKA LANGIT MEMERAH

No comments:

Post a Comment